RAMADAN akan meninggalkan kita, dan berganti Syawal. Sebagai seorang muslim, kita patut merasa sedih dan berat hati berpisah dengan bulan Ramadan. Karena ia merupakan bulan keberkahan, rahmat dan maghfirah.
Sebagaimana Riwayat Jabir dari Nabi Muhammad Saw beliau bersabda dalam kitab klasik Durratun Nasihin yang artinya “Apabila tiba akhir bulan Ramadan, semesta langit menangis, juga bumi dan para malaikat karena datangnya musibah terhadap umat Nabi Muhammad. Ada sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, musibah apakah itu?’ Beliau Saw menjawab: ‘Sirnanya Ramadan, sebab doa-doa di dalam bulan Ramadan adalah mustajab, sedekah juga diterima, perbuatan baik dilipatgandakan (pahalanya), dan azab pun dicegah.’”
Bulan Ramadan merupakan syahrut tarbiyah (bulan pendidikan) bagi umat Islam. Di bulan Ramadan umat Islam ditempa dan dilatih. Berhasil atau tidaknya pendidikan dan latihan tersebut, indikasinya terlihat dari amal perbuatannya pasca Ramadan. Meningkatkah ibadahnya atau semakin menurun Di situlah penilaian keberhasilan Ramadan.
Sejatinya pasca Ramadan kita diharapkan tetap istiqamah dan mampu serta terbiasa dengan melakukan berbagai aktivitas ibadah dan amal saleh untuk hari-hari berikutnya selama sebelas bulan, baik berupa amalan wajib maupun amalan sunnat. Karena pada bulan Ramadan kita telah ditraining selama satu bulan untuk melakukan berbagai aktivitas ibadah dan amal saleh. Tujuannya, untuk menjadi orang yang bertakwa sebagaimana Allah sebutkan dalam Al-Quran (QS. Al-Baqarah: 183).
Ramadan pada dasarnya dimaksudkan sebagai periode latihan untuk meraih ketakwaan, dan takwa itu tidak untuk dipraktikkan selama bulan suci itu saja. Allah SWT memberi waktu selama satu bulan lamanya untuk mengubah diri manusia menjadi lebih baik, meninggalkan kebiasaan buruk, dan menerapkan hal yang baik. Minimal tiga semangat yang harus kita pertahankan pasca Ramadan.
Pertama adalah dimensi Self control dan Emotional competence latihan menahan diri, yaitu saat kita menjalani ibadah puasa. Sebagaimana telah sering kita bahas, pada bulan Ramadan, kita menahan diri untuk tidak melaksanakan sesuatu yang sebenarnya diperbolehkan, seperti makan dan minum dan berhubungan suami-istri. Untuk apa menahan diri dari hal-hal yang semestinya diperbolehkan? Supaya kita bisa mengendalikan diri kita sendiri; hawa nafsu kita.
Kedua yang harus kita jaga adalah spritual Intelligence yang menekankan hubungan ilahiah yang bersifat transedental, yang kita jalani di bulan Ramadan adalah rutinitas kita menjalankan ibadah-ibadah sunnah; shalat-shalat sunnah kita, qiyamul lail kita, dan tadarus Alquran kita.
Banyak orang awam mengartikan bahwa puasa itu hanya sekadar makan dan minum dan mencegah segala yang membatalkannya selama rentang waktu terbit fajar hingga terbenam matahari. Sungguh pengertian normatif. Sementara itu, puasa meliputi ranah hakikat hakikat juga karena hal itu berkaitan erat dengan spritualitas religiulitas umat Islam. Semestinya rutinitas kesunahan ini tetap kita jalankan di luar bulan Ramadan; tidak berhenti setelah bulan puasa. Tugas kita pasca Ramadan adalah meningkatkan ibadah dan amal shaleh. Ibadah dan amal saleh harus dilakukan secara terus menerus (langgeng) dilakukan secara Mudawamah.
Kita harus menjaga serta meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Dalam surat AI-Baqaroh ayat 21 Allah berfirman “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu, dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”. Ayat ini bisa kita jadikan semacam alarm, pengingat bahwa kita ada di dunia ini ada yang menciptakan, melindungi dan suatu saat kita akan kembali kepada-Nya.
Ketiga, yang harus kita jaga latihan kita Social Intelligence bahwa orang yang berpuasa makin meningkatkan kecerdasan dalam membangun kehidupan sosial. Perintah berpuasa misalnya sesengguhnya mengajarkan arti penting kepedulian terhadap sesama yang tengah mengalami kelurangan secara ekonomi. Ramadan memgajarkan arti penting harmoni dalam setiap relasi sosial. Di bulan Ramadan adalah kepedulian kita terhadap sesama yang bisa kita wujudkan dalam penyaluran zakat fitrah yang berupa 2,5 Kg makanan pokok atau uang senilainya.
Salah satu pelajaran dari berpuasa di bulan Ramadan adalah agar kita merasakan betapa menderitanya orang yang lapar dan haus, Begitulah yang diarasakan oleh orang-orang miskin, anak yatim dan piatu yang tidak punya cukup makan dan pakaian. Hendaknya di luar Ramadan kita tetap bermurah hati, senang memberi, berinfak dan bersedekah. Kewajiban utama adalah membayar zakat dan fitrah. Zakat fitrah ini wajib bagi kita dan seluruh anggota keluarga meskipun hanya mempunyai kelebihan makanan untuk malam dan hari Idul Fitri saja. Selain zakat fitrah, beberapa zakat-zakat mal dan sedekah sunnah serta infak, kita salurkan selama bulan Ramadan.
Inilah bentuk tanggungjawab kita dalam menjalankan hablum minannas kita di dalam kerangka menjalankan ajaran agama Islam. Kiranya sebelum bulan yang mulia ini benar-benar pergi bergegaslah untuk memperbanyak di waktu yang tersisa. Dan hendaklah senantiasa ditingkatkan karena di malam- malam terakhir terdapat malam Lailatul Qadar, malam yang lebih baik seribu bulan. Bukan yang terjadi saat ini makin ke ujung Ramadan, semangat kita beribibadah semakin memudar.
Dalam sebuah hadits dijelaskan bagaimana Rasulullah SAW bersunggung-sungguh menghidupkan sepuluh hari terakhir dengan segala kebaikan. Sebagaimana dijelaskan oleh Ummul Mu’minin Aisyah r.a “Rasulullah Saw sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan, melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim).
Oleh karena itu, marilah bersama-sama kita memanfaatkan hari-hari terakhir di Bulan Ramadan tahun ini dengan beristiqomah dalam melakukan amal ibadah dan amal shaleh. Tak lupa pula diiringi dengan doa kepada Allah SWT supaya dipertemukan lagi dengan bulan Ramadan tahun depan. Sebab tidak ada yang tahu apakah kita masih hidup pada Ramadan pada tahun depan. (*)
*(Dosen Universitas Esa Unggul Jakarta, Ketua DPW Forum Silaturahmi Doktor Indonesia Provinsi Banten, Dewan Pakar ICMI Orda Kota Tangerang)