Penyebaran nilai dakwah dan kesetiaan pada pemimpin yang dimiliki oleh tiga pendiri Tangerang, sudah seharusnya tersosialisasikan secara massif dan terstruktur sehingga terserap oleh lapisan masyarakat bahkan menjadi koreksi bagi rekontruksi sejarah nasional bangsa Indonesia.
PENGGALIAN fakta sejarah membuktikan bahwa hari jadi Kabupaten Tangerang yang sebelumnya diperingati setiap tanggal 27 Desember, kemudian dalam sidang paripurna DPRD diubah dan disahkan menjadi 13 Oktober sebagaimana Perda Nomor 2 tahun 2020 tentang Hari Jadi Kabupaten Tangerang.
Namun sudah dua tahun berjalan, baik peringatan bahkan sosialisasi masih terkesan elitis dan minim sosialisasi. Itu harus diakui ketika warga pinggiran, bahkan dari strata sosial menengah, masih gagap harus seperti apa menjiwainya. Alih-alih ingin punya rasa memiliki, mau merayakannya saja terusik oleh benturan kebutuhan primer.
Memang betul, gegap-gempita sebuah peringatan tidak relevan di tengah wabah Covid-19 ini. Tapi, tentang hak asal-usul wilayah dan garis perjuangan pendirian Tangerang ini harus terefleksi dengan baik. Sebab, bila belum ada rasa memiliki dari masyarakat bawah, peringatan hari jadi kabupaten hanya sebuah atraksi.
Ini artinya perpindahan hari jadi Kabupaten Tangerang belum sepenuhnya menyentuh dan kurang menggugah hati warga. Beda halnya ketika perayaan menjelang 17 Agustus-an, simbol-simbol perjuangan berjejer meriah di sudut desa sampai ke pojok kampung.
Atau bisa bandingkan dengan peringatan hari lahir Pancasila. Sejarah mencatat bahwa Soekarno-lah penggagas dasar negara, namun Pancasila dengan nilai sila-silanya selalu menjadi pokok utama pendalaman. Bukan Soekarnoisme-nya (malah sejak orde baru gencar de-Soekarnoisasi).
Begitu juga seharusnya, seiring dengan penemuan fakta baru tentang sejarah berdirinya pemerintahan Kabupaten Tangerang. Harus ada langkah berkesinambungan tentang pendalaman dan kesadaran mengenai pandangan hidup masyarakat, yang kini telah menemukan genealogi-nya sebagai warga Tangerang.
Tentunya, tugas ini bukan pekerjaan ringan. Artinya pemerintah Kabupaten Tangerang mempunyai tanggung jawab besar untuk mengikat seluruh lapisan masyarakat supaya tiap individu mendalami rasa ke-Tangerang-annya.
Melalui tulisan ini saya ingin melemparkan sebuah pertanyaan tentang pengalihan peringatan Hari Jadi Kabupaten Tangerang ini sebenarnya untuk siapa? Siapa yang punya?
Apakah hanya untuk tokoh-tokohnya saja-kah? Buat anak orang kaya-kah? Atau bagi anaknya para politisi?
Semoga jawabannya adalah: yang punya kita semua.
Ingatkah kita, tentang sebuah pengertian asal-usul berdirinya bangsa, Ernest Renan berkata: “bangsa adalah kelompok orang yang ingin bersatu”. Otto Bauer berpendapat: “satu persatuan perangai yang timbul karena memiliki kesamaan nasib.”
Jadi, dari kesamaan nasib dan cita-cita yang dimiliki, ada ikatan batin yang melekat di tiap pribadi dalam satu kewilayahan, itulah semestinya pijakan dasar kita memperingati hari jadi Kabupaten Tangerang.
Refleksi Sekilas Sejarah
Pada 13 Oktober tahun 1632, menurut keterangan berbagai sumber, Sultan Banten memerintahkan kepada tiga Arya; yakni Arya Wangsakara, Arya Jaya Sentika, dan Arya Maulana Yudhanegara untuk membuka perkampungan baru di antara Sungai Cisadane dan Cidurian. Hingga terbentuklah Kesultanan Lengkong Sumedang dengan Arya Wangsakara sebagai sultannya dengan nama Sultan Lengkong.
Wilayah di bawah kekuasaan Aria Wangsakara itu kemudian berkembang pesat hingga memiliki pemerintahan sendiri. Kemudian wilayah Lengkong Sumedang ini dikenal sebagai wilayah Keariaan Tanggerang. Lama kelamaan, Keariaan Tanggerang berubah lafal menjadi Tangerang.
Demikianlah, patriotisme melawan penjajah dan membela tanah air. Penyebaran nilai dakwah dan kesetiaan pada pemimpin yang dimiliki oleh tiga pendiri Tangerang, sudah seharusnya tersosialisasikan secara massif dan terstruktur sehingga terserap oleh lapisan masyarakat bahkan menjadi koreksi bagi rekontruksi sejarah nasional bangsa Indonesia.
Mudah-mudahan Pemerintah Kabupaten Tangerang bukan sedang mengedepankan retorika atau formalitas saja, kemudian berpangku tangan sambil menunggu kesadaran masyarakat. Melainkan juga bisa terus-menerus membangun jiwa dan raga penduduknya, sehingga di masa depan dari generasi ke generasi tidak akan tergerus zaman dan dijauhkan dari infrastruktur yang tidak berprikemanusiaan. (*)
*(Pemerhati Sosial, Dosen STISNU Tangerang, dan Wakil Ketua PC GP Ansor Kabupaten Tangerang)
Diskusi tentang ini post